Silla (tahun 57 Sebelum Masehi - 935 Masehi), seringkali diucapkan Shilla, adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea. Silla bermula dari kerajaan kecil di Konfederasi Samhan. pada tahun 660 Masehi Silla bersekutu dengan Dinasti Tang berhasil menaklukkan kerajaan Baekje serta Goguryeo pada tahun 668. Pada masa penyatuan ini seringkali disebut sebagai masa Silla Bersatu atau Silla Selanjutnya (Hu-silla) dimana wilayah kekuasaannya mencakup semua bagian Semenanjung Korea, sementara sebelah utaranya adalah wilayah kekuasaan kerajaan baru, yang merupakan penerus dari kerajaan Goguryeo, Balhae. Setelah hampir 1000 tahun, Silla terpecah menjadi negeri-negeri kecil yang mengantarkan Korea pada masa Tiga Kerajaan Akhir Korea, dan sampai pada akhirnya semuanya diserap oleh kerajaan baru, Dinasti Goryeo tahun 935.
Nama
Dari awal pendirian sampai perkembangannya menjadi kerajaan yang besar, nama Silla tercatat dalam banyak karakter Tionghoa (hanja)
yang secara fonetis mungkin ditulis berdasarkan nama dugaan dari bahasa
Korea kuno yaitu: Saro; 斯盧, Sara; 斯羅, Seora-beol; 徐羅(伐), Seona-beol;
徐那(伐), Seoya-beol; 徐耶(伐), atau pun Seo-beol; 徐伐. Arti kata-kata dugaan
dari bahasa Silla itu kemungkinan adalah ibukota, walaupun masih menjadi
teka-teki.
Pada tahun 503, Raja Jijeung menetapkan tulisan hanja “新羅” yang dibaca
Silla dalam bahasa Korea modern. Karena orang Korea kini seringkali mempalatalisasikan abjad maka penyebutan kata “Silla” terdengar seperti “Shilla” di telinga pendengar bahasa lain.
Kata yang paling mendekati adalah Seora-beol, dapat ditelusuri dari
unsur bahasa Silla, syeo-beul, yang berarti ibukota kerajaan, yang
kemudian berubah menjadi Syeo-ul, dan akhirnya Seo-ul. Seoul yang kini
dikenal adalah ibukota Korea setelah berakhirnya masa Dinasti Joseon,
dimana nama saat itu adalah Hanseong atau Hanyang.
Nama Silla pada zaman kuno dikenal luas oleh masyarakat Asia Timur Laut. Orang Yamato menyebutnya Shiragi, orang Jurchen (nenek moyang bangsa Manchu menyebut Solgo atau Solho. Dalam bahasa Tionghoa penyebutannya adalah Shin Luo.
Sejarah
Para ahli sejarah secara tradisional membagi sejarah Silla menjadi 3
bagian periode: awal (57 SM-654 M), tengah (654-780) dan akhir
(780-935).
Perubahan kekuasaan
Silla diperintah oleh 3 keluarga (klan) kuat selama berdirinya, yaitu Bak (Park), Seok, dan Kim.
Klan Bak sebagai pendiri berkuasa lebih dari 3 generasi sebelum
menghadapi pemberontakan oleh klan Seok. Dalam masa-masa pemerintahan
pertama raja keluarga Seok, Raja Talhae, klan Kim berperan sebagai klan aristokrat (bangsawan). Ketiga klan ini saling berebut kekuasaan sepanjang sejarah Silla.
Pendirian
Dalam masa Proto Tiga Kerajaan
(masa sebelum Tiga Kerajaan), negara-negara kecil di bagian tengah dan
selatan semenanjung Korea dikelompokkan ke dalam 3 konfederasi (negara
bagian) bernama Samhan. Salah satunya bernama Jinhan yang memiliki 12 buah bagian-bagian yang lebih kecil. Salah satunya adalah negeri Saro (Saro-guk) yang merupakan asal dari Silla. Negeri Saro terbagi atas 6 desa dengan 6 kelompok klan.
Berdasarkan babad Goryeo Samguk Sagi yang ditulis pada abad ke-12, Silla didirikan oleh seseorang bernama Bak Hyeokgeose tahun 57 SM di kota yang sekarang adalah Gyeongju.
Menurut legenda Bak Hyeokgeose lahir dari telur kuda putih. Ketika
berusia 13, ke-6 kelompok klan mengangkatnya jadi pemimpin negeri Saro.
Pembuktian lewat bukti arkeologis
menunjukkan bahwa walau ada negara yang berdiri pada masa itu di
wilayah Gyeongju, masih terlalu dini untuk menyebut Silla sebagai sebuah
kerajaan. Penulis Samguk Sagi dari zaman Goryeo, Kim Bu-sik, mungkin mencoba untuk mengesahkan bukti berdirinya Silla dengan memberi senioritas historis di atas rivalnya, Baekje dan Goguryeo.
Sejarah awal
Dalam masa kekuasaanya, tampuk kepemimpinan Silla berganti-ganti dengan peran 3 klan terkuat.
Mulai abad ke-2 M, Silla baru muncul sebagai kerajaan yang berkembang
pesat di bagian tenggara semenanjung Korea. Silla memperluas kekuasaan
dan pengaruh atas Konfederasi Jinhan pada abad ke-3 dan terus menjadi
kuat.
Di bagian barat Baekje telah berdiri kokoh sejak tahun 250 setelah menundukkan Konfederasi Mahan. Di bagian barat daya, Konfederasi Gaya muncul dan mengambil alih Konfederasi Byeonhan. Sementara di utara, Goguryeo
yang sejak tahun 50 mulai berdiri kokoh, berhasil mengusir perwakilan
militer Tiongkok terakhir dari semenanjung Korea pada tahun 313 dan
terus mengancam para tetangganya.
Berkembang jadi kerajaan
Raja Naemul (berkuasa 356-402) dari klan Kim menetapkan sistem monarki yang turun-temurun. Gelarnya kini telah menjadi Maripgan (han atau gan), yaitu gelar serupa dengan khan pada orang Turkik dan Mongol. Pada 377, ia mengirim utusan dan menjalin hubungan dengan Goguryeo.
Silla mencoba mendekati Goguryeo karena sedang mengalami tekanan dari Baekje dan Negeri Wa[1]. Namun saat Goguryeo mulai memperluas teritori ke selatan dan memindahkan ibukotanya ke Pyongyang tahun 427, Raja Nulji mencoba mengadakan persekutuan dengan Baekje.
Pada masa Raja Bopheung (514-540), Silla telah mencapai titik penuh sebagai negara kuat. Ia pun telah menggunakan Buddhisme sebagai agama negara dan mengendalikan negara-negara kecil di sekitarnya. Sekitar tahun 530-an Konfederasi Gaya dapat ditaklukkannya.
Pada masa Raja Jinheung (540-570), Silla mengembangkan armada perang yang kuat. Ia pernah membantu Baekje merebut wilayah Sungai Han
yang diduduki Goguryeo namun pada tahun 553 merebut wilayah itu dari
Baekje, mengakhiri 120 tahun aliansi kedua kerajaan itu. Peiode awal
Silla berakhir dengan wafatnya Ratu Jindeok pada tahun 654.
Silla Bersatu
- Pada abad ke 7 Masehi, Silla menjalin hubungan dengan Dinasti Tang dari Tiongkok.
- Pada tahun 660 di bawah pemerintahan Raja Muyeol (berkuasa 654-661), berhasil menundukkan Baekje.
- Pada tahun 668, di bawah kekuasaan Raja Munmu Besar dan Jenderal Kim Yu-shin dengan bantuan militer Dinasti Tang, berhasil mengalahkan Goguryeo. Seluruh semenanjung Korea berhasil disatukan Silla setelah hampir 10 tahun mengusir seluruh koloni Dinasti Tang di sebelah utara. Para pelarian Goguryeo mendirikan negeri baru di timur laut semenanjung Korea bernama Balhae.
Para anggota keluarga pemimpin pada zaman Silla Bersatu digolongkan ke dalam sistem kelompok Jin-gol (keturunan tulang murni) dan Seong-gol
(tulang suci) berdasarkan keturunan orang tuanya. Selain itu, sebagai
akibat dari penyatuan wilayah-wilayah semenanjung Korea, para keluarga
bangsawan semakin banyak mengumpulkan kekayaan. Pada masa-masa awal
unifikasi terjadi beberapa kali pemberontakan oleh para pejabat istana,
namun dapat ditekan oleh keluarga kerajaan dengan memindahkan mereka ke
dalam jabatan-jabatan pusat. Untuk waktu yang lama, sekitar 1 abad (dari
akhir abad ke-7 sampai akhir abad ke-8), kerajaan mengganti sistem
penggajian pejabat dengan memberi tanah (no-geup) dengan sistem jikjeon
atau dengan membayar gaji saja.
Akhir abad ke-8, klan Kim mulai menolak penggunaan sistem ini dan
mulai memberontak. Pemberontakan terbesar adalah pembangkangan Kim Dae-gong yang berlangsung 3 tahun.
Periode tengah Silla berakhir dengan pembunuhan Raja Hyegong tahun 780 yang mengakhiri suksesi dari Raja Muyeol, tokoh penyatu Tiga Kerajaan.
Kematiannya adalah puncak perselisihan panjang antar klan dalam
kerajaan yang melibatkan sebagian besar anggota keluarga bangsawan.
Akibatnya keluarga bangsawan muncul sebagai kekuatan utama bagian
internal sementara peran raja hanya sebagai tokoh kepala saja. Namun
begitu, periode ini menyaksikan negeri ini pada titik puncak, dengan
kuatnya hubungan dan konsolidasi keluarga kerajaan serta berhasilnya
usaha mempraktekkan sistem birokrasi cara Tiongkok.
Penurunan dan kejatuhan
Akhir dari periode ini dinamakan Zaman Tiga Kerajaan Akhir, saat beberapa kerajaan yang mengatasnamakan pendahulunya bangkit dan memberontak seperti Hubaekje dan Hugoguryeo. Silla sendiri jatuh ke dalam pemberontakan dinasti baru, Goryeo pada tahun 935.
Politik dan sosial
Dari abad ke-6, Silla menetapkan sistem yang ketat dalam bidang birokrasi dan hukum. Pangkat dan status sosial pejabat diukur berdasarkan sistem ranking tulang.
Begitu pula pada cara berpakaian, bentuk rumah dan jumlah perkawinan
yang diperbolehkan, semuanya diatur menurut hukum tertentu. Kelas
anggota keluarga kerajaan dibagi menjadi 2, yaitu kelas tulang suci (seong-gol) dan tulang murni (jin-gol). Sistem ini berakhir ketika penguasa terakhir dari kelas tulang suci, Ratu Jindeok wafat pada tahun 654[1].
Jumlah bangsawan dari kelas tulang suci pun semakin menurun karena
calon raja/ratu hanya boleh berasal dari keturunan yang kedua orang
tuanya berasal dari kelas tulang suci, sementara keturunan dari orang
tua tulang suci yang menikah dengan kelas tulang murni dianggap masuk ke
kelas tulang murni.
Sejak menguatnya kebijakan negara yang tersentralisasi, masyarakat
Silla juga dipengaruhi oleh kebijakan aristokrat yang ketat. Sistem
birokrasi negara pun mengadopsi cara Tiongkok untuk mengurus wilayah
yang sangat luas. Sebelum masa unifikasi, Raja Silla menganggap dirinya
sangat besar dan menyamai sang Buddha. Sedangkan hal-hal mencolok yang
mewarnai periode setelah unifikasi adalah meningkatnya konflik antar
kelompok, antara keluarga kerajaan dengan bangsawan.
Budaya
Ibukota Silla adalah Seora-beol (saat ini Gyeongju).
Di sana sejumlah besar makam Silla masih bisa ditemui di pusat kota
Gyeongju. Kuburan-kuburan raja Silla yang berbentuk gundukan bukit-bukit
kecil serta benda-benda berharga dari zaman itu dapat ditemukan di
seluruh wilayah Gyeongju. Wilayah Bersejarah Gyeongju dimasukkan oleh UNESCO dalam daftar Warisan Dunia pada tahun 2000[2]. Sebagian besar dari kota kuno Silla ini juga dilindungi dalam wilayah Taman Nasional Gyeongju[3] .
Peniggalan-peninggalan termashyur Silla di Gyeongju:
- Lonceng Perunggu Raja Seongdeok.
- Cheomseongdae, observatori astronomi tertua di Asia Timur yang dibangun pada masa Ratu Seondeok (berkuasa 623-647).
Silla juga terkenal di kalangan pedagang Muslim Timur Tengah yang pergi berdagang ke Tiongkok lewat jalur sutra. Ahli geografi Arab dan Persia seperti Ibn Khuradhih, Al-Masudi, Dimashiki, Al-Nawairi dan Al-Maqrizi menuliskan catatan-catatan tentang Silla.
Buddhisme
Raja Bopheung secara resmi masuk agama Buddha
pada tahun 527, walau sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lebih dari
100 tahun sebelumnya di Silla. Buddhisme diperkenalkan ke Silla oleh Biksu A-do, seorang pelarian Goguryeo pada pertengahan abad ke-5[4].
Cerita menyebutkan bahwa Raja Bopheung memeluk agama Buddha setelah
mengeksekusi seorang bangsawan istana bernama Ichadon hanya karena ingin
darahnya berwarna putih susu.
Buddhisme di Silla lebih kuat dibanding di Goguryeo atau Baekje
karena merupakan agama negara. Dari Raja Bopheung sampai 6 penguasa
berikutnya, menggunakan nama Buddhis dan menganggap diri mereka setara dengan Buddha[5]. Dalam hal pertahanan negara dibentuklah barisan militer Hwarang,
para pemuda yang memiliki pemahaman Buddhisme yang kuat. Mereka juga
memainkan perang penting dalam penyatuan semenanjung. Masa-masa akhir
periode awal Silla adalah saat Budhisme mencapai puncak. Sejumlah besar
kuil didirikan dengan dana dan sponsor bangsawan. Yang paling terkenal
adalah Bulguksa, Seokkuram, dan Hwangyongsa
(Kuil Kaisar Naga) yang dibangun dengan 9 tingkat pagoda kayu,
melambangkan 9 buah negeri yang bersatu dalam Silla. Hwangyongsa runtuh
karena terbakar dalam invasi Mongol ke Goryeo abad ke-12. Kuil Buddha Silla melambang kekuatan kerajaan dan peran Buddhisme dalam ekspansi dan proteksi negara.
Dengan bersatunya Tiga Kerajaan
dalam Silla Bersatu, agama Buddha kurang menjadi begitu penting saat
negara mulai mengadopsi metode birokrasi Tiongkok untuk mengelola negara
yang semakin besar dan juga untuk mengekang kekuasaan keluarga
bangsawan. Namun Buddhisme tetap mendapat tempat khusus rakyat Silla.
Banyak dari biksu-biksu pergi ke Tiongkok belajar dan mencari sutra. Hasil seni dan kerajinan Silla sangat dipengaruhi unsur-unsur Buddhisme yang kental.
Description: ♦~_Sejarah Kerajaan Silla_~♦
Rating: 4.5
Reviewer: Unknown -
ItemReviewed: ♦~_Sejarah Kerajaan Silla_~♦
Tidak ada komentar:
Posting Komentar